Thursday, August 19, 2010

Hitler vs Pink Triangle; Perang Nazi Melawan Sifilis, Homoseks, dan Penghancuran Seksologi

Rosa Winkel, atau Pink Triangle, adalah badge yang disematkan untuk menandai tahanan gay atau laki-laki homoseksual di kamp konsentrasi Nazi. Antara tahun 1933-1945, sekira 100.000 orang homoseksual masuk tahanan di negeri yang--khususnya di Berlin--sebelum masa Third Reich cukup liberal dalam hal homoseksualitas.


Mereka inilah yang diberi label segitiga merah jambu, dan mengalami penyiksaan hingga eksperimen keji yang dilakukan oleh tentara Nazi. Eugene Kogon dalam bukunya Der SS-Stat mengatakan: "Pada musim gugur 1944 ... anggota SS-Strumbannfuhrer DR. Vaernet ... muncul di Kamp Konsentrasi Buchenwald.



Dengan izin Himmler ... Vaernet memulai serangkaian eksperimen yang bertujuan untuk menghapus homoseksualitas. Dilakukan penanaman hormon sintetik pada perut bagian bawah sejumlah laki-laki untuk mengubah orientasi seksual mereka. 15 orang yang dijadikan kelinci percobaan ... mati akibat operasi ini. Yang lain tewas beberapa minggu kemudian karena terlalu lemah."



Homoseksualitas, sebagaimana sifilis dan prostitusi, adalah fenomena-fenomena yang oleh Hitler dalam Mein Kampf , disebut-sebut sebagai cultural degeneration (kemerosotan budaya). Gay tidak mendukung reproduksi dan menjaga kemurnian darah Aria, karena itu mereka menjadi musuh Nazi. Kebencian berlebihan Hitler terhadap homoseksualitas menilaskan rumor dan pertanyaan. Apakah Hitler sendiri seorang gay?



Jika Hitler Seorang GayDalam film A Love to Hide yang berkisah tentang cinta dan nasib seorang gay di masa Hitler berkuasa, dituturkan betapa nista dan ngerinya menjadi seorang gay di bawah kekuasaan Hitler. Adalah Jean, pemuda tampan, baik, dan pintar, kesayangan keluarga yang ternyata seorang gay atau homoseks.



Di masa remajanya, Jean sempat menjalani cinta monyet bersama seorang perempuan Yahudi bernama Sara. Sara sekian lama menghilang karena ditangkap tentara Nazi, tetapi kemudian berhasil meloloskan diri dan menemui Jean dalam keadaan syok dan trauma. Jean yang sudah menjadi seorang gay menampung Sara dan menempatkannya di rumah pasangan homoseksualnya.



Jean juga memberikan identitas baru pada Sara sebagai seorang perempuan Perancis bernama Yvonne Brunner dan mempekerjakannya di tempat binatu milik keluarga Jean.

Sara yang masih tetap mencintai Jean sempat syok ketika mengetahui bahwa ternyata Jean sudah berubah menjadi seorang gay.



Tapi perlahan ia mulai bisa menerima kenyataan itu dan bahkan tetap mencintai Jean dengan setulus hatinya. Ia bahkan mengangankan Jean bisa kembali normal atau setidaknya menjadi seorang biseksual sehingga mereka bisa hidup bahagia bertiga. Tapi film ini bukan film kisah cinta segitiga yang biasa-biasa saja.



Persoalan yang diangkat kemudian bukanlah kisah cinta Jean atau Sara, melainkan tentang apa yang dialaminya Jean ketika akhirnya ditangkap polisi Perancis dan diserahkan pada tentara Nazi. Jean sebagai homoseksual ditempatkan dan dikelompokkan oleh tentara Nazi bersama tahanan lain yang mengenakan simbol Pink Triangle atau segitiga merah jambu di dada mereka.





"Tahanan berlabel Pink Triangle mengalami nasib yang 'lebih buruk dan lebih nista' daripada seekor anjing," jelas seorang tahanan Pink Triangle pada Jean saat mereka dalam perjalanan menuju sebuah kamp konsentrasi. Pada awalnya Jean tidak mau mempercayai yang dikatakan tahanan itu, tapi kenyataan yang dilihat dan dialaminya memang membuktikan kebenaran penjelasan tahanan itu.



Ketika seorang tahanan berlabel Pink Triangle terjatuh di tempat kerja paksa, maka seketika itu, detik itu juga, tentara pengawas langsung menembaknya di kepala. Ada juga tahanan lain yang ditelanjangi dan dibakar hidup-hidup di depan Jean. Semua kekejaman mengerikan itu dilakukan oleh tentara Nazi sambil tertawa-tawa, seolah mereka membunuh seekor anjing yang paling hina.



Jean yang terjebak dalam penyekapan mengerikan karena ulah jahat adiknya sendiri yang mencintai Sara, selalu berusaha melawan dan membela kekejian tentara Nazi dalam menyiksa dan membantai kaum homoseks. Ia tidak dibunuh karena ia orang Perancis, bukan gay warga Jerman atau Yahudi. Istilah yang menjadi alasan penahanannya adalah re-edukasi.



Tapi karena keberaniannya membela tahanan Pink Triangle lainnya, Jean akhirnya dibuang ke kamp konsentrasi Dachau yang terkenal sebagai kamp konsentrasi paling keji dan mengerikan. Di Dachau Jean benar-benar disiksa habis-habisan dan dijadikan kelinci percobaan. Ia mengalami penyiksaan secara seksual dan juga berbagai eksperimen mengerikan yang dilakukan tentara-tentara Nazi.



Ketika akhirnya Jean dikembalikan ke negaranya, saat kekuasaan Hitler berakhir, ia sudah seperti mayat hidup yang menunggu mati. Sara dan ayah-ibu Jean yang setia menantinya, menerima kedatangan kembali Jean dengan tangis pilu tanpa suara. Hanya beberapa hari bersama orang-orang yang mencintainya, Jean akhirnya meninggal di tengah-tengah mereka.



Dalam salah satu dialog antara Jean dengan adiknya saat rahasia dirinya terbongkar oleh sang adik, Jean berkata: "Apakah kau memilih bermata biru saat dilahirkan? Apakah kau memilih berambut pirang saat dilahirkan? Aku pun tidak memilih untuk mencintai sesama lelaki. Seperti itulah cinta.



Kau tidak pernah tahu betapa beratnya menanggung dan merahasiakan cintamu karena masyarakat menistakan cintamu." Di bagian lain, ketika tentara Hitler menyiksanya, mereka mengutuk dan menyumpahi Jean sebagai aib bagi bangsa dan negaranya. "Kau mempermalukan bangsa dan negaramu, Homo! Kau adalah aib besar bagi bangsamu karena itu kau dikirim kemari!"



Lalu tentara-tentara itu menghajar dan menyiksanya lagi. Tapi Jean jelas tak mungkin berubah meski disiksa dan dianiaya sampai mati. Ia memang seorang gay, seorang lelaki yang mencintai lelaki lainnya sama seperti lelaki yang mencintai seorang perempuan. Seperti dikatakan Jean pada adiknya, ia menjadi homoseksual sama seperti seseorang dilahirkan dengan mata biru atau rambut pirang.



Jean menegaskan bahwa kondisi dirinya adalah sesuatu yang berada di luar kekuasaannya. Kondisi itu adalah satu keterbatasan yang diberikan pada dirinya tanpa bisa ditawar, sebagaimana seseorang dilahirkan tanpa bisa memilih kualitas-kualitas tertentu. Di era kekuasaan Hitler, argumen semacam ini jelas tak mungkin diterima oleh masyarakat, bangsa, dan negara. Yang terjadi justru sebaliknya.



Menurut catatan US Memorial Holocaust, pada masa Hitler berkuasa, persisnya sepanjang tahun 1933 sampai 1945, tercatat sedikitnya 100.000 orang homoseksual ditangkap dan disiksa di kamp-kamp konsentrasi. Dari jumlah itu, 10.000 sampai 15.000 meninggal karena penyiksaan dan eksperimen keji yang dilakukan tentara Nazi.



Sungguh jumlah yang sangat besar sebagai sebuah pembantaian atau kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity). Pembantaian terhadap kaum homoseksual dan perang Hitler melawan pelacuran adalah sebuah penghancuran sistematis terhadap sexology dan sekaligus merupakan kejahatan kemanusiaan yang sangat besar.



Entah apa yang merasuki Hitler sampai kebenciannya teramat sangat besar pada kaum homoseks dan praktik-praktik perilaku seksual lainnya yang dianggap tidak bermoral atau menodai bangsa. Hitler memang seorang maniak dan psikopat yang haus darah, tapi ini pun tidak cukup menjelaskan tindakan yang dilakukannya pada kaum homoseksual.



Bagaimana Hitler melihat dan mengonsepkan perilaku homoseksual memang tak dapat dilepaskan dari ideologinya yang berbasiskan kebencian dan angkara pada bangsa Yahudi. Jika Hitler pernah sekali saja membayangkan dirinya sebagai seorang gay, mungkin tragedi kemanusiaan yang dialami kaum gay tidak akan dan tidak perlu terjadi.



Atau jika Hitler ternyata sebenarnya seorang gay maka apa yang dilakukannya pada kaum gay mungkin merupakan sebuah cerminan kebencian terhadap dirinya sendiri yang tidak pernah bisa menerima kenyataan bahwa dirinya adalah seorang gay. Tentu saja kita tak pernah tahu kebenaran apa yang ada dalam sosok Hitler.



Bisa saja ia biseksual atau memang dia heteroseksual fanatik-fundamentalis yang sangat membenci orientasi seks sesama jenis. Ada begitu banyak kemungkinan yang bersifat personal dan sulit diungkap pada sosok Hitler, karena itulah sosoknya selalu menjadi kontroversi yang terus-menerus hidup dan menarik perhatian masyarakat dunia, bahkan hingga saat ini.



Munculnya generasi muda sekarang yang terinspirasi dan mengidolakan Hitler adalah bukti betapa kontroversi, ideologi, dan gerakan Nazi yang dipimpin Hitler ternyata masih menyimpan potensi. Sosok Hitler secara fisik memang unik. Dengan perawakan yang terbilang mungil untuk ukuran orang Jerman, ia mampu mengguncang dunia.



Kumis khas dan rambut cepak khas Hitler yang klimis dengan seragam militer kebesarannya sebagai pemimpin besar, juga tetap unik dan mampu menarik perhatian. Dari penampilannya yang cenderung pesolek, sebenarnya tak berlebihan juga bila ada kemungkinan homo atau biseksual pada diri Hitler.



Namun melihat apa yang dilakukannya pada kaum gay di Jerman dan sejumlah negara tetangganya seperti Perancis, maka jika Hitler seorang gay, ia mungkin adalah gay yang sakit hati, frustrasi, broken heart, dan akhirnya mendendam sampai ke tulang sumsum. Mungkin ia dikhianati oleh kekasih gay-nya pada masa muda atau bahkan pada masa ia baru saja mulai berkuasa.



Mungkin ia pernah sangat mencintai dan terobsesi pada seorang lelaki yang sama sekali tak mencintainya dan selalu menolak, apa pun usaha yang dilakukannya. Mungkin juga Hitler adalah homo yang tak pernah berani mengakui dan menyatakan ke-homo-annya sehingga ia sangat frustrasi dan kemudian berbalik membenci kaum gay habis-habisan.



Ada banyak kemungkinan di balik alasan Hitler membantai dan membasmi kaum gay sedemikian kejinya. Ironisnya, kemungkinan-kemungkinan itu justru lebih kuat jika ternyata Hitler sebenarnya adalah seorang gay.



Mungkinkah hal ini benar? Mungkinkah Hitler sebenarnya seorang homoseksual? Dalam teori kehidupan yang sederhana saja, kemungkinan adalah sebuah keluasan samudera yang dalamnya tak terukur. Ini kata orang-orang bijak di seantero dunia.



Dalam film A Love to Hide juga digambarkan bagaimana para perwira tinggi Jerman dalam pasukan Hitler ternyata banyak yang sebenarnya adalah gay atau homoseks. Salah satunya diceritakan naksir Jean dan menjadi backing sebuah pub khusus kaum gay di Perancis. Perwira ini kemudian diceritakan bunuh diri dan memicu tuduhan pada Jean sebagai salah satu penyebabnya.



Nasib Jean di kamp konsentrasi pun semakin buruk karena tuduhan itu. Film ini diangkat dari kisah nyata yang terjadi dan dialami kaum gay yang ditangkap tentara Hitler. Ada kebenaran faktual yang mendasari film ini. Bisa saja kebenaran ini memperkuat dugaan terhadap Hitler sebagai gay. Jika tidak memperkuat pun, tetap saja ada kemungkinan--sekecil apa pun--Hitler adalah seorang homoseksual.



Dalam sejumlah referensi dan hasil penelitian yang juga menjadi sumber-sumber utama buku ini, diungkapkan juga hal serupa. Para perwira SS, tentara khusus Nazi yang sangat kejam itu, ternyata banyak di antaranya adalah gay.



Di bagian akhir film A Love to Hide, tokoh Sara yang sudah memiliki dua orang cucu, diceritakan berziarah di pemakaman khusus gay korban kekejaman Nazi yang telah dijadikan sebagai monumen khusus untuk memberi pengakuan pada hak-hak kaum gay yang di kamp-kamp konsentrasi pada masa Hitler diberi tanda Pink Triangle.



Sara bersama dua orang cucunya meletakkan setangkai bunga untuk jean yang dimakamkan bersama para gay lainnya di pemakaman khusus itu. Sementara di suatu tempat yang entah di mana--mungkin di neraka--Hitler mungkin menyaksikan kaum gay yang berkumpul di situ dengan perasaan menyesal paling dalam yang bisa dimiliki seseorang. Suatu perasaan yang terus menghantui dan menyiksanya, melebihi siksa neraka apa pun

No comments:

Post a Comment